Lampung – jmpdnews.com – Sejak awal mula, kita – saya khususnya – menduga, bahwa insiden penembakan yang menggemparkan jagat media tidak “sehitam-putih” itu. Maksudnya, ada penindakkan dan penegak hukum di satu pihak – dan ada pelanggar hukum di lain pihak. Ketika pihak penegak hukum melaksanakan undang undang ada perlawanan dari pelanggar hukum. Dan korban berjatuhan!
Tidak ! Tidak sesederhana itu!
Lokasi yang menghasilkan banyak uang dari kegiatan haram itu, ternyata, merupakan “binaan” dari si penegak hukum beberapa waktu ini. Selama ini pihak pengelola setor Rp10 juta seminggu, plus rokok, minum dan BBM harian. Tapi mendadak “uang binaan” dinaikkan menjadi Rp20 juta. Ada komunikasi dan tawar menawar dari dua pihak, tapi tak putus.
Pihak “pembina” lalu mengancam akan menggerebek dan membubarkan kegiatannya. Dan pihak pengelola menjadi geram dan menunggu. Lalu, dor! dor! dor! Tiga penegak hukum bergelimpangan. Dan media langsung menyebut yang bergelimpangan itu pahlawan! Korps menaikan pangkat mereka.
SEJAK reformasi bergulir, Mei 1998, di bawah aturan undang undang yang disahkan di parlemen, ada pihak penegak hukum yang punya seragam dan senjata mendapat wewenang untuk melaksanakan hukum sipil. Mereka berseragam coklat. Di pihak lain, ada pemegang senjata juga, berseragam juga yang harus kembali ke barak dan kehilangan “wewenang” itu. Mereka berseragam hijau.
Pemberiaan wewenang di satu pihak dan kehilangan wewenang di pihak lain melahirkan ketimpangan dan kesenjangan. Bahkan eksploitasi. Diam diam yang satu bekerja, yang satu melindungi, yang satu memeras yang lain menikmati.
JIKA kejadiannya berlangsung 30 tahun lalu, di zaman Dinasti Cendana masih berkuasa – maka posisinya terbalik. Pihak si hijau yang pegang senjata dan berkuasa dan coklat yang dibawahinya. Seragam hijau yang membuka lapak, dan yang berseragam coklat bekerja keras dan setor.
Konstelasi berubah. Para elite negara, dan politisi partai di parlemen membalikannya. Undang undang mengatur terbalik. Seragam hijau kembali ke barak, seragam coklat menegakkan hukum di tengah masyarakat.
Seragam hijau dan seragam coklat sama sama membawa tugas suci, membela bangsa dan negara, membela Pancasila, dan melindungi rakyat dan masyarakat. Undang undang mengatur., yang seragam hijau melindungi bangsa dan negara dari ancaman asing, sedangkan yang seragam coklat melindungi dari ancaman di dalam negeri.
Tapi dampak dari itu adalah kesenjangan. Utamanya kesenjangan kesejahteraan. Pihak yang berseragam hijau hanya hidup dari gaji dan tunjangan, sementara yang baju coklat, selain gaji dan tunjangan, ada uang perlindungan, uang kutipan, sogokan kasus kasus, dan obyekan lainnya.
Secara kasat mata, yang berseragam coklat nampak berkilau dan sejahtera, sedangkan pemakai seragam hijau, hidup pas pasan dan hanya menjadi penonton.
BAGI para aktifis pro demokrasi, HAM dan supremasi sipil – insiden penembakan tragis di antara para pemegang senjata itu, menjadi amunisi untuk lebih menekan dan menyudutkan seragam hijau. Lebih bergairah untuk menentang peran ganda, multi fungsi dan dwifungsi si Hijau di ranah sipil yang sedang diperlonggar lagi.
“Belum punya kuasa saja sudah main tembak, bagaimana nanti kalau diberi kuasa? ” kata mereka. Yang dimaksud kuasa adalah perlindungan undang undang sebagai payung hukum.
Para penentang revisi undang undang hanya mempersoalkan profesionalitas si Hijau di ranah sipil. Mengapa mereka tidak mempersoalkan saat para petinggi seragam coklat yang menduduki jabatan di kementrian dan lembaga?
Jika multifungsi si Hijau kini dianggap berbahaya bagi kehidupan demokrasi sipil, bagaimana dengan demokrasi sipil di tangan si Coklat – selama ini ?
Memangnya kemampuan memimpin, dan mengorganisasi pasukan hanya para petinggi coklat, sehingga duduk di kementrian dalam negeri, mengatur bulog, mengurusi imigrasi, angkutan darat, mengurus lapas, bahkan duduk di bidang ekonomi kreatif? Sedangkan petinggi Hijau hanya jadi penonton?
Kesenjangan adalah isu sensitif yang mengulang konflik laten di antara dua pelindung rakyat, pembela negara, penegak hukum, yang sama sama terlatih, sama sama berseragam dan bersenjata.
Selagi lahan “basah” hanya dikuasi oleh satu kelompok, dan kelompok lain hanya menjadi penonton, maka insiden dan tragedi ‘dar! der! dor! itu akan terus berulang.
Yang begitu itu tidak dipahami oleh para aktifis pro demokrasi, HAM dan supremasi sipil. Mereka hanya beraksi sesuai agenda pengucur dana di London dan Washington sana. *
Penulis : Redaksi
Editor : Arjuna
Sumber Berita : WAG FORKOMAS KAB BEKASI