Kajian dan analsis :
Cikarang, jmpdnews.com || Proses Pilkada di berbagai daerah terus berjalan mendekati hari Pemilukada serentak pada 27 November 2024. Selain berkampanye, para Pasangan Calon dihadirkan dalam debat terbuka dan live agar setiap warga bisa melihat, mendengar dan menilai langsung, siapa yang paling pantas, layak dan terbaik untuk dipilih.
Salah satu masalah yang masih kontroversial adalah pengangkatan sejumlah besar Penjabat Kepala Daerah jelang Pemilu nasional dan Pilkada Serentak. Ditambah, ada segelintir Penjabat (PJ) Kepala Daerah yang ikut maju Pilkada di daerah penugasannya. Tak ada pembenaran etis dan moralitas dalam etika pemeritahan yang bersih, meskipun dimungkinkan dalam Pemilihan terkait hak dipilih dan memilih, dan diharuskan mundur berdasar peraturan perundangan.
Salah satu isu dan masalah yang perlu di evaluasi khusus sejak awal adalah keikutsertaan Pj atau Penjabat Kepala Daerah yang berhenti di tengah masa tugasnya, terus ikut Pilkada di daerah tugasnya, apakah etis, bermoral dan punya integritas ? Bukankah PJ Kepala Daerah adalah ASN / Pegawai Pemerintah yang sifatnya sementara, bersifat rutin dan tidak menentukan atau mengambil kebijakan strategis untuk fokus melaksanakan program dan mengantarkan pelaksanaan Pemilukada hingga melahirkan Pemimpin yang demokratis, profesional dan berkualitas.
PJ Kepala Daerah Bukan Petahana.
Pastinya PJ Kepala Daerah bukanlah Petahana / incumbent. Sangat salah dan keliru jika dinyatakan atau disebut petahana. Sejak era Reformasi dan dimulainya Pilkada langsung di era otonomi daerah, yang disebut Kepala Daerah incumbent / Petahana adalah Pemimpin yang dihasilkan dari Pemilukada secara langsung. Yang hanya diangkat melalui status PJ alias Penjabat, bukanlah petahana /Incumbent. Sesuai dengan Undang-Undang dan peraturan yang berlaku, PJ Kepala Daerah sebagai Pemimpin sementara dan bersifat rutin, tidak melahirkan kewenangan dan program baru selain melanjutkan yang sudah ada.
PJ Kepala daerah dengan waktu yang singkat, satu tahun, dua tahun atau lebih, hanya mengelola program rutin dan lanjutan. Semua sudah termaktub dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) dan Rencana Pembangunan Jangka Pendek, tahunan.
Apalagi PJ Kepala Daerah yang punya interes maju Pilkada sudah pasti menunggangi semua anggaran dan program untuk kepentingan pribadi dan ambisi meraih kekuasaan. Mestinya jadi pelayan profesional, malah jadi penguasa yang ingin menguasai di sebuah dari. Kondisi tersebut menimbulkan keresahan dan polarisasi, menggangnggu soliditas internal ASN dan pemerintahan, juga menimbulkan dalam perpecahan, konflik dan sumber masalah. Pj menjadi sumber masalah, bukan lagi pemersatu dan rekonsiliator warga.
Kontroversi dan Pro-Kontra PJ Kepala Daerah yang ikut Pilkada mendapat respon dan sentimen negatif dari berbagai pihak. Jika Penjabat Bupati maju dalam Pilkada jadinya PJ mendapatkan sentimen negatif, sehingga melabelkan istilah PJ sebagai “Penjajah”. Atau PJ yang maju dalam Pilkada dengan menggarong duit rakyat melalui APBD, memanfaatkan proyek dan program pembangunan maka Penjabat tersebut PJ nya disebutbPenjahat. Itulah fakta, realita, danta bahasa yang hidup di sebuah komunitas masyarakat menyikapi Penjabat Kepala Daerah yang membelot dari tugas dan tanggungjawabnya. Sudah dikasih hati minta Jantung.
Di Jawa Barat, seorang PJ sebut saja DR menjadi Pj Bupati Bekasi satu-satunya yang maju Pilkada, di sela menjabat PJ Bupati Maju sebagai Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat, namun Gagal alias tidak layak. Meskipun kontroversial, DR saat menjadi PJ Bupati ketiga kalinya, hingga di tengah jalan dalam waktu pendek setelah itu Maju sebagai Calon Bupati Bekasi.
Atas tindakan seorang ASN / Pj Bupati yang sejak awal mengatakan tidak maju Pilkada, tidak akan maju, lalu mendapat rekomendasi DPRD Bekasi dan ditetapkan kembali sebagai PJ Bupati Bekasi; dan ternyata DR Maju dengan diusung Partai Politik; patut diduga sebagai fakta semua dilakukan demi kepentingan pribadi, keluarga dan kelompoknya yang diboyong ke Bekasi dari daerah asalnya.
Para pakar dan ahli tata negara dan pemerintahan, banyak menyayangkan kebijakan Menteri Dalam Negeri yang memberikan ruang dan kesempatan terbuka kepada para Penjabat Kepala Daerah untuk maju dalam Pilkada, meskipun tetap harus pensiun dini dan mengundurkan diri. Yang dilanggar adalah etika, moral dan disiplin pemerintahan. Yang ditabrak adalah fatsun moralitas kepemimpinan ASN, yang mestinya netral dan tidak memihak.
Yang menyesatkan adalah terjadinya pemanfaatan kekuasaan, kewenangan, manupulasi anggaran, manipulasi program demi pencitraan, kapitalisasi sarana dan segala fasilitas buat memoles personal branding dirinya dengan menggunakan perangkat media resmi pemerintah daerah, akses link dan media sosial dan segala kegiatan dipakai buat konten pencitraan.
“Nah, semua itu menunjukkan terjadinya manipulasi dan penyalahgunaan kewenangan dan tanggungjawab. Dampaknya buruk terhadap internal ASN, penggunaan anggaran, pemanfaatan program dan masuknya pemerintahan by Order melalui politik Pilkada.
Mestinya, secara formal dan moral seorang PJ Kepala Daerah, harus disumpah dan dibuatkan Fakta tertulis, bahwa setiap Penjabat Kepala Daerah wajib menyelesaikan tugas dan masa pengabdiannya hingga akhir masa jabatannya. Sungguh naif dan tercela saat mendapat jabatan lalu lari dari tanggungjawab dan memanfaatkan segala sumber daya untuk kepentingan politik dan ambisi Pribadi. Karenanya, agar tidak terjadi lagi preseden buruk di tempat lain,
Seorang ASN saat sebelum dinyatakan Sumpah Jabatan / Disahkan oleh Kementerian Negeri wajib menandatangani Fakta Integritas Tidak akan maju Pilkada di tempat tugasnya.
Di Jawa Barat, dari 27 daerah Kabupaten / Kota, tidak ada Penjabat Kepala Daerah yang maju dalam Pilkada 2024, kecuali di Kabupaten Bekasi,.Bukan soal berani atau tidak untuk maju, melainkan karena yang lain itu sangat paham arti pengabdian, loyalitas, dedikasi dan profesional serta mengerti lokal wisdom, di mana bumi di pijak langit dijunjung. Yang lainnya punya rasa dan jiwa tepo seliro, mawas diri, dan silih asah asih asuh dengan warganya. Bukan karena ambisi pribadi dan keserkahan; lebih mengutamakan etika, moral, akhlak dan tanggungjawab dibanding kepentingan pribadi untuk berkuasa.
Para ahli hukum, Akademisi,Pengkaji Tata Negara dan Pemerintahan, serta penggiat demokrasi dan Pemilu, saatnya mengajukan perubahan dan penegasan bahwa Penjabat Kepala Daerah harus profesional, memiliki loyalitas, integritas, menjaga etika dan moral Serta bertanggungjawab.
Demikian juga kepada Kementerian Dalam Negeri, harus mempertegas bahwa ASN yang harus netral dan digaji dengan uang dan hasil keringat rakyat, sebelum maju atau ditetapkan sebagai Penjabat harus menandatangani komitmen dan Fakta Integritas :
Pertama, akan menyelesaikan masa tugas sebagai Penjabat Kepala Daerah sampai akhir masa jabatan;
Kedua, Tidak akan Maju dalam Pilkada di daerah tempat penugasan, terutama saat menjabat masih berlaku.
Masyarakat dapat mengajukan somasi kepada mendagri jika memberikan ruang dan kesempatan adanya pelanggaran etika, moral dan tanggungjawab pemerintahan.
“Sebaiknya siapapun ASN yang pernah dan akan mendapat kesempatan atau diangkat oleh Kementerian Dalam Negeri, tidak mencontoh atau mengikuti jejak PJ Bupati Kabupaten Bekasi yang sudah 2 kali menjabat dan kemudia ketiga kalinya, karena akan menjadi model pelanggaran etika dan moral pemerintahaan serta malpraktek sejarah demokrasi yang tidak sepantasnya dan tidak sehat alias kotor.
Kementerian Dalam Negeri, Pemerintah Pusat dan DPR RI harus me redesain sistem Pilkada yang lebih Jujur, bersih, adil, demokratis dan kondusif. Jangan sampai kualitas dan esensi nilai demokrasi terkalahkan oleh kepentingan sesaat, pemimpin instan, fragmatis dan formalistik, namun melukai etika dan moralitas masyarakat yang terus mendewasakan kualitas kehidupan demokratis.
by Munawar Fuad 5/11/2024
Penulis : Redaksi
Editor : Arjuna
Sumber Berita : MF