Jakarta – jmpdnews.com – Menyusul putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang lembaga pemerintah, institusi, dan korporasi mengadukan laporan dugaan pencemaran nama baik, pemerintah dan DPR diharap merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sehari sebelumnya, MK memutus perkara Nomor 105/PUU-XXII/2024 serta menegaskan larangan kepada lembaga pemerintah, institusi, korporasi, dan sekelompok orang dengan identitas spesifik tertentu dan profesi atau jabatan untuk mengadukan pencemaran nama baik. Dalam perkara tersebut, diuji Pasal 27A juncto Pasal 45 Ayat (4) UU No 1/2024 tentang Perubahan Kedua atas UU No 11/2008 tentang ITE.
Pasal 27A UU ITE sebelumnya berbunyi, setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik dapat dipidana penjara maksimal 2 tahun dan/atau denda maksimal Rp 400 juta.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengapresiasi sikap dan pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang menggunakan argumentasi hak asasi manusia dalam kerangka putusannya. Ini juga menjadi sikap dan argumentasi YLBHI serta masyarakat sipil Indonesia dalam mengawal UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan revisi UU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebelumnya.
”Jadi, putusan MK sudah sejalan dengan pandangan masyarakat sipil bahwa yang namanya jabatan, korporasi tidak punya reputasi. Yang punya reputasi adalah manusia dalam konstruksi HAM,” kata Isnur, Rabu (30/4/2025).
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menegaskan, pada dasarnya kritik dalam kaitan dengan Pasal 27A UU ITE merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Penerapan pasal tersebut pun harus mengacu pada ketentuan pasal 310 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur mengenai pencemaran terhadap seseorang atau individu.
”Artinya, pasal tersebut hanya dapat dikenai terhadap pencemaran yang ditujukan kepada orang perseorangan,” ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam pembacaan putusan, Selasa.
Pelanggaran terhadap ketentuan larangan dalam Pasal 27A UU ITE, lanjut Arief, merupakan tindak pidana aduan atau delik aduan. Artinya, pelanggar hanya dapat dituntut atas pengaduan korban atau orang yang terkena tindak pidana atau orang yang dicemarkan nama baiknya.
Kendati badan hukum menjadi korban pencemaran, tetap tidak dapat menjadi pihak pengadu atau pelapor yang dilakukan melalui media elektronik. Sebab, hanya korban individu yang dicemarkan nama baiknya yang dapat melaporkan kepada aparat penegak hukum terkait perbuatan pidana terhadap dirinya dan bukan perwakilannya.
Oleh karena itu, MK menegaskan bahwa frasa ”orang lain” pada Pasal 27A UU ITE adalah individu atau perseorangan. Sementara jika yang menjadi korban pencemaran nama baik adalah lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas yang spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi, atau jabatan, maka dikecualikan dari ketentuan tersebut.
Meski menyambut baik, Isnur menilai putusan MK saja tak memadai. Sebab, konstruksi utuh UU yang mengatur penghinaan kepada pemerintah dan lembaga negara masih ada seperti di Pasal 240 KUHP yang baru.
Oleh karena itu, menurut Isnur, pemerintah perlu memahami dan menerapkan konstruksi MK sebagai pengetahuan umum standar aturan bernegara. ”Ini harusnya menjadi standar di semua, di pemerintahan dan DPR, jangan lagi membuat aturan-aturan yang mengkriminalisasi (pemberi) kritik,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid pun mengapresiasi putusan tersebut. Namun, dia juga mengingatkan para penegak hukum lebih banyak yang memakai sudut pandang hukum positif dan cenderung hanya melihat apa yang tertulis pada UU, dalam hal ini UU ITE.
”Karena itu, diperlukan semacam langkah lebih jauh dari pimpinan penegak hukum, dari Ketua MA, Jaksa Agung, sampai Kapolri. Misalnya, dengan menerbitkan surat keputusan atau surat edaran atau pedoman pelaksanaan hukum yang terkait dengan pasal 27A UU ITE,” kata Usman.
Revisi UU ITE dan KUHP
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform Nur Ansar pun tidak hanya mengapresiasi putusan MK, tetapi juga mendorong revisi UU ITE dan KUHP segera dilakukan sesuai putusan MK, baik untuk perkara 105/PUU-XXII/2024 maupun 115/PUU-XXII/2024.
Dalam perkara 115, pemohon menguji frasa dalam Pasal 310 Ayat (3) KUHP, Pasal 45 Ayat (2) dan (7), serta Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 45 Ayat (1) UU ITE. Di samping itu, dalam perkara tersebut dimohon agar Pasal 28 Ayat (3) dan Pasal 45A Ayat (3) UU ITE dinyatakan bertentangan dengan hukum. Hakim MK mengabulkan sebagian permohonan dari para pemohon.
”Kami melihat perlunya penyesuaian penafsiran dan penegasan dalam KUHP 2023 jika nantinya diberlakukan. Adanya putusan MK yang secara langsung berhubungan dengan KUHP tersebut membawa konsekuensi pada perlunya perlindungan atas penikmatan HAM masyarakat, khususnya hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat,” katanya.
MK sudah menyatakan pasal penghinaan memberikan efek ketakutan pada masyarakat sehingga hal ini juga akan terjadi dengan keberlakukan pasal penghinaan terhadap presiden, wakil presiden, pemerintah, dan lembaga negara dalam KUHP 2023. Dengan demikian, pengaturan tentang penyerangan kehormatan terhadap presiden, wakil presiden, pemerintah, dan lembaga negara dalam KUHP 2023 harus ditinjau ulang untuk dihapus.
Selain itu, pasal terkait berita bohong di Pasal 263 dan 264 di KUHP juga semestinya dihapus. Sebab, dalam putusan MK terkait perkara Nomor 78/PUU-XXI/2023 yang diputus sebelumnya, MK menyatakan pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak berlaku.
Pasal ini dinilai telah membatasi serta melanggar hak atas kebebasan berekspresi karena setiap orang dengan mudah dipidana menggunakan pasal tersebut. Pasal berita bohong ditafsirkan terlalu luas dan lagi mekanisme menguji suatu berita bohong atau benar saat ini sudah mudah untuk diverifikasi oleh masyarakat karena informasi sudah sangat mudah diperoleh.Oleh Nina Susilo
Penulis : Redaksi
Editor : Arjuna
Sumber Berita : Kompas.com