Jakarta – jmpdnews.com || FENOMENA puppet candidate – kandidat kepala daerah yang terlalu bergantung pada dukungan pusat—mulai meresahkan. Ketergantungan ini bukan hanya mengancam integritas proses demokrasi lokal, tetapi juga membayangi keberlangsungan otonomi daerah yang telah lama kita perjuangkan. Pilkada, sebagai bentuk konkret dari otonomi daerah, sejatinya menjadi arena bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang mampu memahami dan menjawab kebutuhan lokal.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, fenomena “puppet candidate” atau kandidat boneka semakin mencuat.
Kandidat semacam ini tidak hanya mengandalkan, tetapi juga mengeksploitasi hubungan dekat dengan pemerintah pusat untuk meraih dukungan.
Ketergantungan yang berlebihan menciptakan kekhawatiran serius terhadap masa depan otonomi daerah, merusak esensi demokrasi lokal yang berfokus pada pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Fenomena ini muncul dari dinamika politik yang makin terpusat. Kandidat yang disebut-sebut memiliki “koneksi kuat” dengan pusat sering kali tampil sebagai calon terdepan dalam Pilkada.
Mereka mengandalkan klaim bahwa dukungan dari pemerintah pusat akan memuluskan berbagai proyek infrastruktur, bantuan sosial, hingga program pengentasan kemiskinan.
Narasi ini kerap menjadi “jualan utama” selama masa kampanye. Akibatnya, diskusi substansial mengenai kebutuhan dan permasalahan lokal kerap terabaikan.
Faktanya, data menunjukkan bahwa dalam Pilkada serentak 2020, lebih dari 70 persen kandidat kepala daerah yang terpilih memiliki afiliasi kuat dengan partai-partai yang dekat dengan pusat kekuasaan. Tak sedikit dari mereka yang membawa janji bantuan dari pemerintah pusat sebagai daya tarik utama kampanye mereka. Hal ini tidak hanya menunjukkan kecenderungan politik yang bergeser ke arah sentralisasi, tetapi juga memperlihatkan betapa besarnya ketergantungan pada dukungan elite di tingkat nasional.
Bahaya terhadap Otonomi Daerah
Kandidat yang menggantungkan nasib pada hubungan pusat-daerah tidak hanya merusak kualitas kampanye, tetapi juga menempatkan otonomi daerah dalam risiko besar.
Mengapa demikian? Karena dengan terlalu bergantung pada pusat, para kandidat ini cenderung mengabaikan potensi lokal yang sebenarnya.
Alih-alih membangun kemandirian ekonomi daerah, mereka memilih untuk mengikuti arahan pusat yang tidak selalu relevan dengan kebutuhan spesifik masyarakat setempat.
Sebagai contoh, dalam banyak kasus, proyek infrastruktur besar-besaran yang dijanjikan sebagai “bantuan” dari pusat sering kali tidak sesuai dengan konteks lokal. Di beberapa daerah, pembangunan yang terlalu terpusat pada infrastruktur skala besar tidak memikirkan dampak lingkungan atau sosial yang lebih mendalam. Proyek seperti bandara atau jalan tol besar memang terlihat mengesankan. Namun, bagaimana dengan masalah dasar seperti akses air bersih, pendidikan, atau kesehatan yang masih menjadi masalah akut di banyak wilayah?
Di Sumatera Barat, misalnya, banyak masyarakat yang berharap agar Pilkada dapat menghasilkan pemimpin yang mengutamakan sektor pertanian dan pariwisata lokal. Namun, karena tekanan politik dari pusat yang cenderung memprioritaskan proyek-proyek besar dan kebijakan ekonomi makro, agenda-agenda ini sering kali dikesampingkan. Ini menunjukkan bagaimana populisme yang didasarkan pada koneksi pusat dapat membahayakan kesejahteraan dan pembangunan berkelanjutan di daerah.
Ketergantungan pada pusat juga memunculkan persoalan lain yang tidak kalah serius: patronase dan korupsi.
Kandidat yang terlalu dekat dengan pusat berpotensi besar terjebak dalam permainan patron-klien, di mana mereka “berhutang” kepada elite politik di Jakarta. Hutang politik ini sering kali dibayar dengan mengorbankan kepentingan daerah.
Alih-alih menjalankan kebijakan yang benar-benar berdasarkan kebutuhan lokal, para puppet candidate ini lebih sibuk melayani kepentingan kelompok politik yang mendukung mereka.
Menurut laporan ICW pada 2023, sebanyak 70 persen kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah di Indonesia terkait dengan pengelolaan anggaran yang berasal dari pusat.
Fenomena ini menunjukkan bahwa ketergantungan pada sumber daya pusat memperbesar risiko terjadinya korupsi.
Kepala daerah yang hanya berfungsi sebagai “perpanjangan tangan” pemerintah pusat menjadi lebih rentan terhadap godaan untuk menyalahgunakan kekuasaan demi melanggengkan kekuatan politik patron mereka.
Mengembalikan kemandirian lokal
Untuk mencegah fenomena puppet candidate yang semakin mengakar, diperlukan upaya serius dari semua pihak.
Pertama, masyarakat harus lebih kritis dalam memilih pemimpin. Dukungan dari pusat tidak selalu berarti baik untuk daerah.
Pemilih harus mampu mengevaluasi sejauh mana kandidat memiliki visi yang otentik dan independen untuk memajukan daerahnya, tanpa terperangkap dalam dinamika politik pusat.
Kedua, desentralisasi yang lebih substansial perlu didorong. Pemerintah pusat harus memberi ruang lebih besar bagi daerah untuk merumuskan kebijakan dan anggaran secara mandiri. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkuat kapasitas daerah dalam merencanakan dan mengelola anggaran, sehingga ketergantungan pada pusat dapat diminimalkan. Ketiga, regulasi mengenai pembiayaan kampanye harus diperketat. Kandidat yang mengandalkan “bantuan” dari pusat untuk mendanai kampanye mereka cenderung terjerumus dalam politik balas budi yang merugikan daerah.Pengawasan terhadap aliran dana kampanye harus lebih diperketat untuk memastikan bahwa kandidat benar-benar bertanggung jawab kepada masyarakat lokal, bukan kepada elite politik di pusat.
Fenomena “puppet candidate” dalam Pilkada bukan hanya ancaman bagi proses demokrasi, tetapi juga bagi keberlanjutan pembangunan daerah.Ketergantungan yang terlalu besar pada dukungan pusat mengorbankan otonomi daerah, membuka pintu lebar bagi korupsi dan patronase, serta merusak kualitas pemimpin yang seharusnya memperjuangkan kepentingan lokal.
Untuk menjaga esensi Pilkada sebagai sarana demokrasi lokal yang berdaya, masyarakat dan lembaga politik harus waspada terhadap tren ini dan berupaya mengembalikan fokus pada kemandirian, integritas, dan kebutuhan riil masyarakat daerah.Dalam pesta demokrasi yang seharusnya menjadi ajang perwujudan kemandirian daerah, munculnya “puppet candidate” adalah ironi yang perlu segera disadari dan dihentikan.Jika tidak, maka otonomi daerah yang sudah diperjuangkan selama bertahun-tahun akan kembali tergadai di tangan politik pusat yang hanya peduli pada keuntungan elektoral, bukan kesejahteraan masyarakat lokal.
Penulis : Muhammad Aliman Sahmi Dosen UIN Muhammad Yunus Batusangkar
Editor : Arjuna
Sumber Berita : Kompas.com