Jakarta – jmpdnews.com – Gebrakan Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, cukup menarik perhatian. Bahkan, ia berani berbeda dengan Presiden Prabowo dalam menterjemahkan efisiensi anggaran. Jika Prabowo menerapkan efisiensi melalui pengurangan anggaran di sebagian besar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, maka kebijakan efisiensi Dedi Mulyadi di Jawa Barat bukan mengurangi anggaran, melainkan mengalihkan pos-pos anggaran yang tidak penting dan tidak efektif ke pos-pos yang prioritas.
Dalam hitungan jam setelah dilantik, Dedi melakukan gebrakan lainnya, yakni melarang kegiatan studi tour sekolah dan memecat sejumlah kepala sekolah yang melanggar. Lalu, saat terjadi banjir besar di Bekasi dan Jakarta minggu lalu, Dedi sigap. Ia langsung membongkar bangunan-bangunan besar yang ada di kawasan Puncak. Salah satunya adalah fasilitas wisata Hibisc yang dikelola oleh sebuah BUMD Jabar. Pembongkaran ini mendapat dukungan masyarakat.
Menariknya, tindakan Dedi ini memicu sejumlah kementerian melakukan tindakan yang sama. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dibuat sibuk dan tidak mau kalah dengan tindakan Dedi. Kementerian Kehutanan juga demikian. Tim Ditjen Penegakan Hukum Kemenhut melakukan pengawasan dan penyegelan sejumlah bangunan liar yang ada dalam kawasan hutan lindung di Puncak. Kementerian ATR juga dibuat repot oleh Dedi. Menteri ATR bahkan ikut turun tangan mencari solusi terhadap lahan-lahan yang terlanjur dikuasai di sepanjang DAS yang berhulu di Puncak, Bogor.
Sayangnya, ambisi Dedi Mulyadi membenahi Puncak yang menjadi sumber malapetakan banjir Bekasi dan Jakarta 2025 tidaklah mudah. Mengapa? Sebagai gubernur, kewenangan Dedi terbatas. Ia hanya bisa melakukan tindakan sejauh dalam kewenangannya. Semua tindakan dalam kawasan hutan adalah kewenangan Kementerian Kehutanan. Sementara kewenangan dalam APL adalah kewenangan Kementerian ATR. Karena itu, semangat Dedi akan terhalangi oleh batasan-batasan kewenangan yang dimilikinya.
Meskipun tidak merepresentasikan secara utuh, apa yang dilakukan Dedi Mulyani bisa memperlihatkan bahwa ia sedang menghadirkan populisme dalam diri dan tindakannya. Dan, Dedi sendiri adalah pemimpin populis. Dalam konteks ini, populisme tidak terkait dengan baik atau buruk, melainkan ideologi politik untuk melihat bagaimana tindakan aktor dalam arena, dan bagaimana aktor mencoba membongkar kebusukan-kebusukan elit dalam arena birokrasi.
Populisme bisa lahir dari semua spektrum politik, baik kiri atau kanan. Sebagai pemimpin populis, Dedi mencoba menampilkan identitas budaya Sunda yang melekat dalam kesehariannya, sehingga ia masuk dalam kategori populisme kanan yang berhasil menggerakkan dukungan rakyat. Namun, Dedi juga bicara ketidakadilan melalui perbaikan tatakelola anggaran publik yang selama ini dianggap sangat korup.
Sebagai pemimpin populis, Dedi mencoba mengkonstruksi imaji bahwa dirinya adalah representasi rakyat. Sedangkan “mereka” adalah elit yang dianggap korup dan sumber masalah dalam pembangunan di Jawa Barat. Dalam konteks populisme, elit di sini bisa siapa saya yang selama ini mengendalikan pembangunan di Jawa Barat, termasuk elit politik, elit birokrasi, dan elit penguasa modal, yang menjadi sumber masalah pembangunan Jawa Barat yang karut-marut.
Untuk memperkuat posisi diri sebagai pemimpin populis, Dedi cukup sadar bahwa ada kekuatan yang bisa ia gunakan, yakni media sosial. Karena itu, ia sangat aktif membuat konten berbagai aktivitas kesehariannya sebagai gubernur, termasuk konten-konten tentang tindakan membongkar bangunan di Puncak, berdebat dengan sejumlah pihak, dan terbaru adalah konten ia nyemplung ke sungai Cipalabuhan, Pelabuhan Ratu, Kabupaten Sukabumi, untuk membersihkan sampah bersama petugas.
Pemimpin populis memang menarik perhatian melalui gebrakan-gebrakannya yang mencoba membongkar prilaku elit yang menjadi sumber masalah. Namun demikian, pemimpin populis cenderung menyelesaikan masalah yang memiliki kompleksitas tinggi melalui pendekatan sederhana. Banyak pemimpin populis di berbagai belahan dunia gagal karena tidak mampu mengatasi kompleksitas persoalan ekonomi-politik, dan tidak berani membongkar berbagai masalah dari akarnya. Bahkan, sebagian pemimpin populis gagal karena, pada akhirnya, ia bekerjasama dengan elit-elit powerful dan korup yang sebelumnya ia lawan.
Akun X bernama Dimar (@dimarcotop) memberi ulasan menarik bahwa ketika menjadi Bupati Purwakarta (2008-2018), kebijakan-kebijakan Dedi Mulyadi dalam bidang pendidikan lebih bersifat simbolik daripada struktural, seperti kebijakan jalan kaki ke sekolah, larangan PR, pergantian nama sekolah dengan tokoh Sunda, dan sebagainya.
Menurut Dimar, kebijakan Dedi tidak mengubah akar masalah pendidikan secara substantif, seperti tingkat literasi, kualitas guru, dan infrastruktur pendidikan yang mendapat perhatian minimal.
Pendapat Dimar ini menjustifikasi bahwa begitulah pemimpin populis. Ia fokus pada kebijakan dan tindakan yang melahirkan “gegap gempita” di ruang publik. Kebijakan populis cenderung mudah dicerna dan disukai oleh mayoritas masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah. Sementara kompleksitas persoalan pembangunan yang diselesaikan dengan pendekatan struktural cenderung tidak terlihat dan membutuhkan waktu yang lebih lama, namun bisa menyelesaikan masalah-masalah substantif untuk jangka panjang.
Terlepas kelebihan dan kekurangan yang ada, tindakan populis Dedi Mulyani cukup memberi harapan di tengah kekosongan kepemimpinan bangsa ini. Yang barangkali menjadi PR Dedi Mulyadi adalah bagaimana ia perlu dibantu untuk menyelesaikan masalah-masalah pembanguan yang tingkat kompleksitasnya tinggi di semua sektor di Jawa Barat secara mendasar, secara struktural, bukan sekedar simbolik-populis. ☑
(Dr. Yusdinur adalah sosiolog, pengamat sosial dan kebijakan publik)
Penulis : Redaksi
Editor : Arjuna