Cikarang – jmpdnews.com
Hukum pidana di Indonesia mengenal istilah daluarsa, yakni habisnya jangka waktu tertentu yang menyebabkan negara kehilangan hak untuk menuntut atau melaksanakan pidana terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana. Ketentuan ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 78 hingga Pasal 84.
Secara umum, daluarsa dibedakan menjadi dua, yaitu daluarsa penuntutan dan daluarsa pelaksanaan pidana.
Daluarsa penuntutan berarti negara tidak lagi dapat mengajukan perkara ke pengadilan karena waktu penuntutan telah lewat. Misalnya, untuk kejahatan berat yang diancam hukuman mati atau penjara seumur hidup, masa daluarsanya berlaku selama 18 tahun. Sedangkan untuk kejahatan dengan ancaman hukuman di bawah tiga tahun, masa daluarsanya hanya enam tahun.
Sementara itu, daluarsa pelaksanaan pidana terjadi ketika seseorang telah dijatuhi hukuman, tetapi dalam jangka waktu tertentu hukuman itu tidak dilaksanakan. Jika lebih dari 16 tahun hukuman penjara tidak dijalankan, maka hak negara untuk mengeksekusi pidana tersebut dianggap gugur.
Namun demikian, tidak semua tindak pidana dapat kedaluwarsa. Sejumlah kejahatan berat seperti pelanggaran hak asasi manusia berat (gross violation of human rights), genosida, dan beberapa kasus korupsi tertentu tidak mengenal batas waktu daluarsa.
Pakar hukum menjelaskan, ketentuan daluarsa dibuat untuk menjaga kepastian hukum dan keadilan, mengingat berjalannya waktu dapat membuat bukti dan saksi sulit ditemukan. Meski begitu, penerapan aturan ini tetap harus hati-hati agar tidak membuka celah bagi pelaku kejahatan untuk lolos dari jerat hukum hanya karena faktor waktu.
Dengan demikian, daluarsa hukum pidana bukan berarti pengampunan, melainkan batas kewenangan negara dalam menegakkan hukum sesuai asas kepastian dan keadilan.
Penulis : Redaksi
Editor : Arjuna
Sumber Berita : dari berbagai sumber










