Cikarang – jmpdnwes.com – Di balik megahnya kawasan industri Kabupaten Bekasi, dengan lebih dari 7.500 pabrik dan 11 kawasan industri terintegrasi yang disebut terbesar di Asia Tenggara, terselip persoalan klasik: daerah ini belum mampu menggali potensi besar dari pengelolaan limbah industri sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Regulasi Lama, Celah Pungli
Sumber masalah ini berakar dari dua regulasi lama, yakni Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 9 Tahun 2007 dan Peraturan Bupati Nomor 12 Tahun 2007 yang mengatur izin pengelolaan limbah padat non B3 bernilai ekonomis. Aturan ini pada prinsipnya tidak mengenakan retribusi daerah untuk perizinan yang dikeluarkan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH).
Namun, praktik di lapangan jauh berbeda.
Beberapa pelaku usaha yang mengurus izin mengaku dipaksa membayar mahal agar proses perizinan berjalan cepat. “Kalau tidak kasih uang, prosesnya bisa berbulan-bulan, selalu ada alasan berkas kurang,” ujar salah seorang pengusaha yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Modusnya sederhana: perizinan diperlambat dan dipersulit, sehingga pengusaha terpaksa mengeluarkan uang lebih agar izin dapat segera terbit. Akibatnya, lahir dugaan adanya pungutan liar (pungli) yang justru menambah beban pelaku usaha dan merusak iklim investasi.
Kewajiban yang Terabaikan
Padahal, pemerintah daerah memiliki kewajiban hukum untuk menciptakan sistem perizinan yang sederhana, murah, dan cepat. Hal ini ditegaskan dalam prinsip good governance dan amanat undang-undang. Namun, dalam praktiknya, sistem justru dibiarkan berbelit, membuka ruang penyalahgunaan kewenangan.
Di sisi lain, Kabupaten Bekasi gagal memanfaatkan potensi ekonomis dari limbah industri. Tanpa adanya mekanisme retribusi resmi, peluang menambah PAD dari sektor limbah industri hilang begitu saja, sementara pungli justru subur.
Karawang Lebih Maju
Perbandingan mencolok terlihat dengan Kabupaten Karawang. Daerah tetangga ini sudah lebih dulu memasukkan pengelolaan limbah industri sebagai objek retribusi daerah. Melalui Perda Pajak dan Retribusi Daerah, Karawang mampu menambah pundi-pundi PAD secara signifikan tanpa membebani pelaku usaha dengan praktik pungli.
Hasilnya, Karawang tidak hanya mendapat tambahan kas daerah, tetapi juga memperkuat iklim investasi yang sehat dan transparan.
Mendesak untuk Direvisi
Pengamat hukum otonomi daerah menilai, Pemkab Bekasi perlu segera mengevaluasi dan mencabut Perda 9/2007 serta Perbup 12/2007. Proses evaluasi ini dapat diajukan kepada Gubernur Jawa Barat maupun Kementerian Dalam Negeri.
Selain itu, langkah penting berikutnya adalah merevisi Perda Nomor 17 Tahun 2023 tentang Pajak dan Retribusi Daerah dengan menambahkan klausul retribusi pengelolaan limbah industri. Dengan begitu, pengelolaan limbah bukan hanya memenuhi aspek lingkungan hidup, tetapi juga menjadi sumber PAD yang sah dan transparan.
Kesimpulan: Bekasi Harus Berubah
Kasus ini menjadi cermin betapa regulasi yang usang bisa merugikan daerah sekaligus masyarakat. Dengan statusnya sebagai kawasan industri terbesar di Asia Tenggara, Bekasi seharusnya tidak hanya menjadi lumbung keuntungan bagi investor, tetapi juga bagi daerah dan warganya.
Penulis : Redaksi
Editor : Arjuna
Sumber Berita : Mbah Goen